- by FAKTUALSUMSEL.COM
- Mar, 09, 2025 22:33
FAKTUALSUMSEL - Sumatera Selatan (Sumsel), sebagai salah satu provinsi yang memiliki sektor ekspor dan impor yang cukup signifikan, kini menghadapi tantangan baru seiring dengan kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Anggota DPR RI Komisi II, Dr. HM Giri Ramanda N Kiemas, SE. MM., mengungkapkan bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak langsung terhadap produk Indonesia, termasuk yang berasal dari Sumsel, yang selama ini menjadi bagian dari pasar global, terutama untuk ekspor bahan mentah dan produk setengah jadi.
Dalam pernyataannya, Giri Ramanda menyoroti bahwa jumlah ekspor Indonesia ke
Amerika tidak sebesar ekspor kita ke China. Sebagian besar ekspor Indonesia
selama ini mengalir melalui jalur proxy, yakni Singapura, yang hanya dikenakan
tarif 10%. Namun, di tengah ketidakpastian kebijakan tarif yang baru, potensi
dampak terhadap produk mentah yang diekspor ke China bisa memengaruhi ekonomi
regional, termasuk Sumsel, yang mengandalkan ekspor bahan mentah untuk industri
tertentu. Ekspor barang mentah ini kemungkinan akan terpengaruh meskipun tidak
secara langsung.
Bagi Sumsel, yang memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti batu bara,
kelapa sawit, dan komoditas lainnya, dampak dari penurunan ekspor bahan mentah
ini tentu saja dapat dirasakan. Giri Ramanda mengungkapkan bahwa ketika barang
setengah jadi atau barang jadi dari China berkurang ke pasar Amerika, maka
kemungkinan ekspor Indonesia ke China juga akan terhambat. Ini akan berdampak
pada para produsen di Indonesia yang mengirimkan komoditas mentah atau setengah
jadi ke China sebagai bahan baku industri mereka.
Dalam kondisi ini, produsen Indonesia harus beradaptasi untuk mempertahankan
daya saing. "Produsen Indonesia harus lebih efisien dalam memproduksi
barang agar tetap bisa bersaing di tengah tarif tinggi yang diberlakukan oleh
Amerika Serikat," tegas Giri Ramanda. Efisiensi produksi ini menjadi kunci
agar produk Indonesia tetap menarik bagi pasar internasional, termasuk
negara-negara yang masih memiliki hubungan dagang yang baik dengan Indonesia,
seperti negara-negara ASEAN.
Dampak dari kebijakan tarif ini juga berpotensi menyebabkan terganggunya
rantai pasokan internasional yang melibatkan banyak negara, termasuk Indonesia.
Selain itu, produsen di Sumsel yang memiliki ketergantungan pada bahan baku
dari luar negeri untuk proses produksi mereka mungkin akan merasakan kenaikan
biaya produksi akibat tarif impor yang lebih tinggi. Maka dari itu, penting
bagi pemerintah untuk segera merespons dengan kebijakan yang dapat mendukung
keberlanjutan sektor industri nasional, termasuk memberikan insentif untuk
efisiensi produksi dan peningkatan daya saing produk lokal.
Pada sisi lain, kebijakan ini juga membuka peluang untuk mempercepat
diversifikasi pasar ekspor Indonesia, termasuk Sumsel. Mengurangi
ketergantungan pada pasar tunggal seperti China dan Amerika Serikat menjadi
langkah yang perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, para pelaku usaha di
Sumsel harus mulai mencari pasar baru dan memperkuat hubungan dengan
negara-negara yang mungkin tidak terlalu terpengaruh oleh kebijakan tarif
Amerika Serikat.
Sebagai langkah antisipasi, pemerintah harus menyediakan dukungan teknis dan
fasilitas bagi produsen lokal untuk meningkatkan kapasitas produksi serta
mempercepat adopsi teknologi yang dapat mendukung efisiensi. Penyuluhan
mengenai pasar baru dan teknologi produksi yang lebih ramah biaya harus menjadi
bagian dari strategi pengembangan sektor ekspor nasional, termasuk di Sumsel. Jadi,
meski kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat dapat
menimbulkan dampak negatif pada sektor ekspor Indonesia, terutama bagi
provinsi-provinsi yang memiliki ketergantungan besar terhadap ekspor bahan
mentah dan produk setengah jadi, ada banyak langkah yang bisa diambil. Dengan
meningkatkan efisiensi produksi, menggali pasar alternatif, dan
mendiversifikasi jalur ekspor, Sumsel dan Indonesia secara keseluruhan dapat
tetap menjaga daya saing di pasar global. (Fdl)