- by FAKTUALSUMSEL.COM
- Mar, 09, 2025 22:33
FAKTUALSUMSEL, PALEMBANG – Pengamat politik Sumatera Selatan, Amrah Muslimin SE, MM., yang juga mantan Ketua KPU Sumsel, menilai persoalan mendasar yang dihadapi pemerintah saat ini adalah hilangnya empati pejabat terhadap masyarakat. Menurutnya, kondisi itu berbahaya karena bisa memicu ledakan sosial di masa depan.
Amrah mengungkapkan, kesenjangan antara masyarakat miskin dan kaya semakin melebar di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Di tengah jurang sosial yang makin nyata, pejabat publik justru kerap menunjukkan sikap yang memperlihatkan hilangnya empati. “Masyarakat miskin mudah terprovokasi karena mereka merasakan langsung ketidakadilan. Data statistik juga menunjukkan jumlahnya masih tinggi,” ujarnya.
Ia mencontohkan, beberapa keputusan DPR seperti pemberian privilege atau kenaikan tunjangan bagi anggota dewan sering dianggap wajar oleh pejabat, namun justru menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat. “Hal-hal seperti itu memperlihatkan betapa pejabat kita kehilangan empati. Padahal seharusnya bisa ditolak jika memang ada kesadaran,” tegas Amrah.
Menurutnya, persoalan empati bukan hanya menyangkut legislatif, tetapi juga birokrasi pemerintahan. Ia menyoroti lemahnya tata kelola pelayanan publik dan alokasi anggaran yang belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan masyarakat “Kalau kita lihat APBD Sumsel, berapa banyak yang benar-benar dikucurkan untuk kepentingan publik? Jalan rusak masih banyak, sekolah masih kurang, tapi belanja pegawai lebih besar,” jelasnya.
Amrah menilai, kesadaran empati seharusnya dimulai dari pejabat tingkat paling rendah. Ia menyinggung soal TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) yang diberikan ASN. Menurutnya, tujuan awal TPP untuk meningkatkan kinerja justru tidak tercapai. “Dengan adanya TPP, kinerja birokrasi seharusnya meningkat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya,” katanya.
Ia juga mengkritisi berbagai pos anggaran lain seperti SBBD maupun biaya rapat yang meski kecil, jika volumenya besar tetap membebani APBD. “Efisiensi masih bisa dilakukan, hanya saja keberanian untuk memotong anggaran yang tidak prioritas belum terlihat,” tambahnya.
Selain infrastruktur, ia menekankan masalah pendidikan yang juga krusial di Sumsel. Jumlah sekolah negeri tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk usia sekolah, sementara sekolah swasta memerlukan biaya mahal. “Inilah yang membuat angka putus sekolah cukup tinggi. Pemerintah harus memikirkan skala prioritas di sektor ini,” ucapnya.
Amrah menegaskan, setiap rupiah dalam APBD harus berpihak pada kepentingan rakyat. Ia menantang pemerintah Sumsel untuk memastikan apakah prioritas-prioritas itu sudah termuat dalam APBD 2025. “Kalau belum, ini alarm bagi kita semua,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengapresiasi demonstrasi mahasiswa di Sumsel yang berlangsung damai. Namun, ia mengingatkan pemerintah agar tidak meremehkan aksi tersebut. “Demo yang tidak anarkis justru harus disikapi dengan empati. Jangan sampai dianggap aman lalu diabaikan,” tuturnya.
Menurut Amrah, jika empati birokrasi terus hilang, potensi letupan sosial sangat besar. Ia mengingatkan pengalaman kelam 1998 di Palembang yang menjadi salah satu kota dengan tingkat anarkisme tinggi. “Sejarah itu bisa berulang jika kita tidak belajar,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan dampak ekonomi dari potensi kerusuhan. Menurutnya, aksi demo yang menutup sekitar 10 persen toko di Palembang sudah cukup menunjukkan kekhawatiran besar dari pelaku usaha. “Ini warning bahwa jika anarkisme terjadi, perekonomian Sumsel akan terguncang,” jelasnya.
Karena itu, Amrah menyerukan agar pemerintah benar-benar serius menjaga Sumsel tetap dalam kondisi zero conflict. Caranya adalah dengan mengutamakan keadilan, keberpihakan anggaran pada rakyat, serta sikap empati dari para pejabat. “Empati itu bukan sekadar slogan, tapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Jika pemerintah tidak segera berbenah, jangan salahkan masyarakat jika mereka merasa kecewa dan akhirnya meledak,” pungkas Amrah.(Fdl)