FAKTUALSUMSEL, PALEMBANG – Di tengah derasnya gelombang globalisasi yang tak terbendung, satu suara menggema dari Hotel Wyndham Palembang, Rabu (11/6/2025): suara untuk menyelamatkan bahasa ibu, warisan leluhur yang semakin lama semakin sunyi. Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Selatan, Drs. H. Edward Candra, MH, membuka Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah Sumsel, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumsel.
Dalam pidato pembukanya, Edward tak hanya menyampaikan sambutan biasa. Ia meletakkan dasar filosofis bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat bicara, tetapi jiwa dari kebudayaan itu sendiri. “Bahasa daerah adalah napas identitas kita. Ia menyimpan sejarah, nilai-nilai, dan cara berpikir orang Sumsel dari generasi ke generasi,” tegas Edward, memantik kesadaran para peserta yang hadir dari berbagai unsur akademisi, pemerhati budaya, hingga praktisi pendidikan.
Namun, Edward juga tak menutupi fakta pahit: bahasa daerah di Sumsel kini berada di persimpangan antara bertahan atau punah. Di tengah dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing, banyak anak muda mulai kehilangan ikatan dengan bahasa ibunya sendiri. “Revitalisasi ini bukan semata pelestarian kosakata. Ini tentang menyelamatkan cara kita memahami dunia, tentang menjaga akar sebelum kita hanyut,” ujarnya penuh keprihatinan, namun dengan nada optimisme.
Edward berharap kegiatan diskusi ini tidak berhenti pada wacana, tetapi menjadi lompatan strategis menuju pelestarian bahasa daerah yang konkret dan berkelanjutan. Ia mengajak semua elemen, terutama generasi muda, untuk mengembalikan bahasa daerah ke ruang publik, ruang keluarga, bahkan ruang digital. “Mari kita jadikan bahasa daerah bukan nostalgia masa lalu, tapi gaya hidup masa kini,” tantangnya, memantik semangat para peserta.
Sebagai bentuk keseriusan, kegiatan ini juga ditandai dengan penandatanganan komitmen bersama antara Sekda Sumsel, Kepala Balai Bahasa Sumsel, dan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafiz Muksin. Penandatanganan ini menjadi simbol sinergi antara pemerintah daerah dan pusat dalam menyelamatkan bahasa daerah yang terancam punah.
Kepala Balai Bahasa Sumsel, Dessi Ari Pressanti, dalam paparannya mengungkapkan bahwa dari enam bahasa daerah yang direvitalisasi sejak 2023 hingga 2024—yakni Komering, Pedamaran, Kayu Agung, Lematang, Ogan, dan Melayu Palembang—hanya dua yang masih dinyatakan aman: Komering dan Ogan. “Empat lainnya menunjukkan penurunan vitalitas. Ini alarm yang harus kita tanggapi dengan serius. Jika tidak, dalam waktu dekat kita hanya akan mengenang mereka dalam buku sejarah,” ujarnya.
Enam bahasa tersebut tersebar di OKU, OKU Timur, OKU Selatan, OKI, Muara Enim, dan Kota Palembang. Melalui pendekatan revitalisasi berbasis komunitas, program ini mencoba merangkul masyarakat untuk aktif kembali menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafiz Muksin, mengingatkan bahwa hingga 2025, program revitalisasi akan mencakup 120 bahasa daerah secara nasional. Ia menekankan, keberhasilan revitalisasi hanya bisa terjadi jika pemerintah daerah menjadi motor penggeraknya. “Kita tidak bisa menggantikan bahasa yang hilang. Sekali punah, kita kehilangan satu cara pandang dunia. Karena itu, kolaborasi dan keseriusan dari daerah adalah kunci,” tegas Hafiz.
Diskusi yang berlangsung hangat dan penuh semangat ini menjadi momentum penting bagi Sumsel. Di tengah tantangan zaman, suara untuk mempertahankan jati diri lewat bahasa kembali disuarakan. Dari ruangan ini, harapan besar disemai: agar anak-anak Sumsel kelak tak hanya bisa menyanyikan lagu pop global, tetapi juga bisa menuturkan cerita leluhur dalam bahasa ibu mereka. (Fdl)